Selasa, 09 Agustus 2011

Paderi, Pengawal Syariat Islam di Ranah Minang

Paderi, Pengawal Syariat Islam di Ranah Minang


Islam pernah mengalami masa kejayaan di Minangkabau, Sumatera Barat, dan sekitarnya. Mulai dari Mandailing, Tapanuli, hingga Toba, Sumatera Utara. Sejarah mencatat, masa kejayaan Islam itu terjadi sejak awal pergerakan kaum Paderi (awal 1800) dan berakhir dengan jatuhnya Benteng Bonjol dan tertangkapnya Panglima Paderi, Tuanku Imam Bonjol, pada tahun 1837.


Di masa kekuasaan kaum Paderi, ranah Minang dan sekitarnya berhasil dibersihkan dari segala bentuk kemusyrikan dan kemaksiatan. Tidak hanya itu, tradisi adat dan kepercayaan yang berbau bid’ah dan kurafat juga sirna. Syariat Islam benar-benar ditegakkan dan mendapat pengawalan ketat dari laskar Paderi.
Saat shalat Shubuh, umpamanya, mereka berpatroli ke rumah-rumah penduduk dengan memeriksa batu tapakan (batu ceper) di setiap rumah. Bila batu itu basah, berarti si penghuni rumah sudah berwudhu dan tentu akan menunaikan shalat. Tapi, bila masih kering, pintu rumah segera diketuk. Mungkin penghuninya ketiduran, lalu dibangunkan dan dinasehati untuk segera menunaikan shalat.

Namun, terhadap mereka yang dengan sengaja melakukan perbuatan syirik, berzina, dan mabuk-mabukan, kaum Paderi tak sungkan untuk bertindak tegas. Terhadap pelaku zina mereka rajam. Bahkan, seorang perempuan dari keluarga Tuanku Nan Renceh, pemimpin kaum Paderi, yang terbukti melakukan zina, mereka rajam juga.

Orang kaya yang terbukti tidak menunaikan zakat, mendapat hukuman membayar beberapa kali lipat. Calon pemimpin pemerintahan lokal (nagari/desa) dipilih berdasarkan kemampuan membaca al-Qur`an dan pengalaman menjadi imam di surau (masjid).

Yang paling melegenda dan paling banyak ditulis para sejarawan yakni perang Paderi. Para sejarawan mencatat bahwa perang ini berakhir seiring tertawannya Imam Bonjol pada l837. Padahal tidak demikian. Kaum Paderi tak pernah menyerah kepada kaum kafir. Tahun 1842, misalnya, perlawanan kaum Paderi bangkit di Batipuh Tanah Datar. Inilah sekelumit kisah para pengawal syariat di Ranah Minang.

Mengukir Jihad dari Ampek Angkek
Kisah trio haji. Ingin menegakkan syariat, malah diteror dan terusir. Justru itu awal kebangkitan kaum Paderi
Kaum Paderi disebut juga kaum putih. Mereka dikenal sebagai sosok yang senantiasa mengenakan sorban dan jubah serba putih, berjenggot, dan berpedang. Dari mana nama paderi itu berasal, tidak banyak terungkap. Termasuk di berbagai literatur tentang Perang Paderi.

Ada sejarawan yang menafsirkan nama Paderi berasal dari bahasa Belanda, priesstern, artinya orang suci. Ada pula yang berpendapat nama Paderi berasal dari Pedir, sebuah pelabuhan laut di Aceh. Pedir, kala itu sering dijadikan tempat singgah jamaah haji asal Minangkabau, termasuk di antaranya tiga orang sekawan: Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Nah, sejarah Paderi berawal dari trio haji tersebut.
Pada awal tahun 1800-an, secara bersamaan tiga sekawan yang telah lama merantau (berguru) sekaligus berhaji ke Tanah Suci Makkah ini pulang ke kampung halaman di ranah Minang, Sumatera Barat. Haji Abdurrahman yang kemudian bergelar Haji Piobang, pulang ke kampungnya di Piobang, Luhak Limopuluah Dikoto. Haji Muhammad Arif ke kampungnya di Sumanik (Solok), yang kemudian bergelar Haji Sumanik. Dan, Haji Miskin kembali ke Pandai Sikek di Luhak Agam.

Kepulangan ketiga haji tersebut tak hanya sekadar memboyong gelar haji. Mereka pulang dengan membawa sebuah misi suci dan cita-cita besar, yakni menegakkan syariat Islam, sebagaima ikrar mereka ketika berbaiat kepada gurunya di Makkah.

Berguru ke Ulama Wahabbi
Sebelumnya, selama bertahun-tahun di Tanah Suci, ketiga haji tersebut berguru pada sejumlah ulama dari kaum Wahabbi. Kedatangan mereka di Makkah, memang bertepatan dengan berkuasanya kaum Wahabbi.
Golongan Wahabbi ini dipimpin ulama asal Najad, Muhammad bin ’Abdul Wahhab. Sejak tahun 1744, kelompok ini berjuang memurnikan Islam sesuai al-Qur`an dan as-Sunnah. Gerakan yang disebut revolusi Wahabbi ini, mendapat dukungan Muhammad bin Sa’ud, penguasa tanah Hijaz. Gerakan Wahabbi terkenal kesungguhannya dalam memberantas adat dan tradisi yang berbau bid’ah, kurafat, dan syirik.

Kepulangan trio Haji ke Minangkabau (sekitar tahun 1803), merupakan bagian dari gerakan pembaharuan Islam yang berpusat di Arab Saudi tersebut. Tapi pada awalnya, dakwah mereka tidak mendapat sambutan, bahkan sebaliknya mendapat perlawan para penghulu dan kaum adat.

Maklum, saat itu masyarakat Minangkabau masih diselimuti tradisi nenek moyang berupa perjudian adu kerbau dan menyabung ayam. Juga berupa praktik-praktik kesyirikan seperti menyediakan sesajen dengan menyembelih kerbau di kapalo banda (sumber irigasi) dan berdoa dengan kemenyan.

Kepercayaan dan tradisi tersebut sudah berurat-berakar dan dilegalkan para penghulu adat di setiap nagari (adat). Akibatnya, dalam menyebarkan dakwah, bukan pengikut yang didapatkan ketiga haji itu. Malah perlawan keras hingga berbentuk aksi teror mental maupun fisik dari orang-orang kampung mereka sendiri.
Trio haji tidak melayani teror itu. Mereka lebih banyak mengalah daripada melawan. Tetapi tentangan kaum adat makin keras. Menghindari kontak fisik dan pertumpahan darah, Haji Miskin lebih memilih hijrah dari kampungnya di Pandai Sikek menuju Ampek Angkek. Sedangkan Haji Sumanik hijrah ke Lintau. Hanya haji Piobang yang tetap berdakwah di kampungnya.

Peristiwa hijrahnya Haji Miskin ke nagari Ampek Angkek, rupanya membawa berkah. Itu menjadi awal gerakan kaum Paderi yang terorganisir. Penduduk Ampek Angkek menyambut kedatangan Haji Miskin dengan penuh suka-cita. Di perkampungan yang tak jauh dari kaki Gunung Marapi itu, dakwah Haji Miskin mendapat sambutan luar bisa. Masyarakat berduyun-duyun mendatangi pengajiannya.

Di Ampek Angkek pula Haji Miskin mendapatkan tujuh orang sahabat yang siap berjihad dalam mendirikan daulah Islamiah. Ketujuh ulama yang telah mendalami Islam itu kemudian berbaiat kepada Haji Miskin. Salah satu ulama itu adalah Tuanku Nan Renceh, kelak terkenal sebagai salah satu Panglima Paderi yang legendaris.
Bersama Haji miskin yang kemudian genap berjumlah delapan orang, para ulama yang berpakaian serba putih inilah yang dikenal sebagai pendiri gerakan Paderi. Mereka dijuluki ”Dewan Ulama Nan Salapan” atau ”Harimau Nan Salapan”. Merekalah tokoh utama dalam gerakan awal kaum Paderi.

Dalam perjalanannya kemudian, yang lebih berperan sebagai panglima perang kaum Paderi adalah Tuanku Nan Renceh. Sedangan Haji Miskin bertindak sebagai imam, dibantu dua sahabatnya, Haji Piobang dan Haji Sumanik.
Basis utama gerakan kaum Paderi di Minangkabau ada di Kamang, kampung kelahiran Tuanku Nan Renceh. Kawasan Kamang yang dilingkari Bukit Barisan, dinilai cukup strategis dijadikan pusat pelatihan laskar Paderi sekaligus benteng pertahanan yang kukuh. Di sini juga terdapat banyak sumber mata air dan juga terowongan alami yang bisa tembus menuju Pasaman dan Limapuluhdikoto.

Dalam waktu singkat, gerakan Paderi di Kamang berhasil memegang kendali kekuasaan yang semula dipegang penghulu adat. Para ulama Paderi begitu cepat memperluas pengaruhnya hingga ke Kamang Hilir, Gadut, Pakan Kamis, dan terus ke Salo dan Baso. Saat itu, ”penaklukan” nagari-nagari yang semula dikuasai kaum adat, tidak diwarnai bentrokan fisik.

Selain menyebarkan dakwah melalui surau-surau, para ulama Paderi terlibat langsung dalam kegiatan masyarakat. Mereka turut bekerja di sawah membantu masyarakat bercocok tanam. Juga turut ke hutan untuk mengambil tonggak macu (tiang utama) bangunan masjid.

Di nagari-nagari yang telah ”ditaklukan”, diangkat pemimpin nagari (semacam kepala desa) dari orang-orang yang terbukti amanah. Pemimpin nagari tidak lagi diangkat berdasar latar belakang kedudukan menurut adat seperti penghulu adat atau penghulu kaum. Pemimpin pemerintahan nagari dipilih berdasarkan pengalaman menjadi imam dan khatib di masjid-masjid.

Sejak kaum Paderi berkuasa, masyarakat merasakan banyak perubahan dari pemerintahan sebelumnya yang dikendalikan kaum adat. Hal paling mendasar dirasakan masyarakat adalah terjaminnya keamanan. Perkelahian antar kampung yang sebelumnya sering terjadi usai perjudian, tidak terjadi lagi. Aksi penyamun dan perompak yang sangat meresahkan masyarakat, berhasil dibasmi laskar Paderi. *Dodi Nurja/Suara Hidayatullah MARET 2008

Menjawab Tantangan Kaum Adat
Perlunya gerakan dakwah didukung kekuatan senjata. Tidak berorientasi pada kekuasaan, melainkan penegakkan syariat
Meluasnya pengaruh kaum Paderi tentu saja meresahkan para penghulu adat. Mereka takut kehilangan pengaruh dan kekuasaan. Mereka kemudian mencoba menggalang kekuatan untuk meredam pengaruh kaum Paderi. Para penghulu yang menguasai nagari-nagari di sekitar lereng Gunung Marapi dan Singgalang, bahkan menantang secara fisik. Mereka ingin menjajal kekuatan kaum Paderi. Mereka memilih Bukit Batabuah sebagai medan laga.

Sebagai pancingan, mereka sengaja menggelar acara yang sangat ditentang kaum Paderi: pesta maksiat, berupa judi ayam secara alek (besar-besaran) di Bukit Batabuah. Belum puas dengan judi, mereka menambahi dengan pesta madat (mengisap candu), dan minum tuak (nira yang sudah diembunkan). Tak cukup satu atau dua hari, pesta itu digelar selama tujuh hari tujuh malam.

Pada hari pertama dan kedua pesta maksiat berlangsung, pancingan kaum adat itu masih nihil. Kaum Paderi belum memberi reaksi apapun. Barulah pada hari ketiga pancingan mereka mulai ada tanda-tanda berhasil. Kaum Paderi mengutus tiga orang kurir dari Kamang yang membawa sepucuk surat Dewan Ulama Paderi. Isi surat itu antara lain meminta pesta maksiat dihentikan dan para pelakunya diserukan bertobat.

Bukan diterima baik-baik, surat itu malah dibakar. Kurirnya disiksa dan diusir. Dengan perlakuan demikian, pancingan kaum adat rupanya mengena. Siang itu juga sejumlah laskar Paderi, beberapa di antaranya berkuda dan berpedang, datang melabrak. Arena pesta maksiat itu obrak-abrik. Tak diduga mereka ternyata telah mempersipkan diri sedemikian rupa. Dari balik bukit dan pohon-pohon, seketika menyerbu balatentara kaum adat sambil menghunus senjata: badia balansa, piarik, keris, dan tombak.

Dari sisi jumlah personal dan kelengkapan perang, sebenarnya pertempuran itu tak seimbang. Kaum adat yang semula sangat percaya diri bakal berhasil membinasakan ”umpannya” justru menjadi kecele. Laskar Paderi yang jumlahnya lebih sedikit rupanya bagian dari angkatan perang Paderi yang telah lama digembleng pusat pelatihan Kamang Mudiak. Dengan sangat mudah pasukan kaum adat ditaklukan. Gelanggang judi dan sabung ayam Bukit Batabuah akhirnya dibumi-hanguskan.

Sejak peristiwa itu, kaum Paderi terus memperluas pengaruhnya ke wilayah Agam. Dengan jatuhnya Gelanggang Matua sebagai kubu pertahanan terakhir kaum adat, akhirnya seluruh Luhak Agam berhasil dikuasai kaum Paderi.

Pada setiap nagari yang ditaklukan, kaum Paderi mengubah struktur kekuasan. Di setiap nagari diangkat pula seorang imam yang pengaruhnya melebihi Kepala Pemerintahan Nagari. Mereka diperkuat pula dengan beberapa laskar berkuda yang bertugas mengawasi penegakkan syariat.

Perluasan wilayah dan pengaruh gerakan Paderi berjalan mulus di Luhak Agam dan Limopuluah Dikoto. Hal ini dikarenakan pengaruh penghulu kaum adat tidaklah begitu besar. Sedangkan di masyarakat sendiri sudah tumbuh halakah-halakah (kelompok) pengajian yang kemudian menjadi surau. Bila pun terjadi perang dengan kaum adat pada peristiwa Bukit Batabuah, itu masih dalam skala kecil yang mudah dikendalikan.
Tantangan dan perlawanan bersenjata barulah dialami ketika perluasan pengaruh kaum Paderi mengarah ke luhak Tanah Datar. Hal ini disebabkan pengaruh kaum adat sangat kuat, apalagi kawasan ini termasuk wilayah kerajaan Pagaruyung yang berpusat di Pagaruyung. Raja yang memegang tampuk kekusaan saat itu adalah adalah Sultan Arifin Muning Syah.

Gerakan Paderi dianggap ancaman besar oleh kaum adat dan penguasa kerajaan di Pagaruyung. Mereka takut kehilangan kekuasaan. Mereka juga takut adat yang diwarisi dari nenek moyangnya akan diganti dengan syariat Islam.

Untuk membendung pasukan Paderi, Pagaruyung mengirim pasukan kerajaan ke daerah perbatasan dengan Luhak Agam yang telah dikuasai kaum Paderi. Namun, pasukan kerajaan di perbatasan dapat dipukul mundur oleh laskar Paderi hingga ke kawasan Tanjung Barulak yang menjadi pintu masuk menuju Pagaruyung. Di sini pertempuran berlangsung sengit.

Melihat besarnya korban yang berjatuhan dalam perang merebut, kedua pihak akhirnya bersepakat mengadakan genjatan senjata untuk melakukan perundingan bertempat di Koto Tangah pada tahun 1811. Kedua pihak menaruh harapan besar pada perundingan Koto Tangah. Hal itu tampak pada delegasi yang diutus ke medan perundingan.

Delegasi kaum adat langsung dipimpin Raja Sultan Pagaruyung Muning Alamsyah yang disertai oleh para pengawal keluarga kerajaan. Sedangkan delegasi kaum Paderi langsung dipimpin oleh Tuanku Lintau, imam atau pemimpin Paderi untuk Luhak Tanah Datar.

Namun sebuah insiden terjadi ketika baru saja perundingan akan dimulai. Seorang pengawal kerajaan dan laskar Paderi terlibat perang mulut.

Entah siapa yang memulai, perang mulut itu berubah menjadi perang bersenjata yang melibatkan semua peserta perundingan. Berubahlah Koto Tangah menjadi arena perang-tanding bersenjata antar delegasi perundingan. Dalam insiden mendadak itu, Sultan Munin Syah tewas bersama beberapa pengawalnya. Seorang keturunan raja berhasil menyelamatkan diri keluar dari Koto Tangah menuju Kuantan.
Mendengar peristiwa berdarah ini, Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Paderi sangat marah. Tuanku Lintau dan pasukannya dianggap mudah diprovokasi oleh mereka yang tidak mengingikan perdamaian.

Dalam perkembangan gerakan Paderi berikutnya, peran Tuanku Lintau tak terdengar lagi. Tetapi pasca insiden Koto Tangah tersebut, pergerakan dakwah kaum Paderi di luhak Tanah Datar berjalan mulus hingga masuk ke dalam pusat kerajaan Pagaruyung.

Namun sejarah juga mencatat, kaum Paderi tidak melakukan pengambilalihan kekuasaan di Pagaruyung. Hanya struktur pemerintahan yang disesuaikan dengan kehendak kaum Paderi. Misalnya, gelar raja diganti dengan sultan, namun orangnya tetap ahli waris dari dinasti Pagaruyung itu sendiri. Ini bukti sejarah kaum Paderi tidak berorientasi kekuasaan.

Adat Basandi Syara, Syara’ Basandi Kitabullah

Orang Minang pasti Islam. Bila tidak, berarti bukan orang Minang.
Tragedi Koto Tangah (1815), yang telah membuat arena perundingan berubah menjadi kubangan darah, akhirnya menyadarkan kedua belah pihak untuk memetik hikmah. Perang saudara harus segera dihentikan. Apalagi di hadapan mereka sudah menganga moncong senjata kolonial Belanda yang bersiap-siap melumat, tak saja fisik dan hasil bumi, tetapi juga akidah.

Maka pada akhirnya dilakukan musyawarah besar yang melibatkan kaum Paderi, kaum adat, cerdik pandai, dan para ulama di Puncak Pato, Bukit Marapalam, Tanah Datar.

Pertemuan itu sangat legendaris. Dari pertemuan itu lahirlah Piagam Bukit Marapalam. Di dalamnya tercantum kalimat yang termasyhur hingga sekarang: adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (hukum adat berlandaskan pada hukum syara’ dan hukum syara’ berlandaskan pada kitab Al-Qur`an).

Kalimat ini menjadi landasan dan pedoman hidup masyarakat Minang. Inti dari kalimat ini adalah kesepahaman bahwa ajaran Islam adalah payung tertinggi yang menaungi tata cara kehidupan masyarakat Minang secara keseluruhan.

Masyarakat Minang tidak harus meninggalkan adat, namun adat yang dipakai haruslah sesuai dengan ajaran Islam. Secara hakekat, kalimat ini adalah kesepakatan semua orang Minang untuk menjadikan Islam sebagai jalan hidup (way of life). Dengan ditandatandangni dan diikarkannya Piagam Bukit Marapalam, maka sejak itu Islam telah menjadi sumber energi sekaligus ruh kehidupan budaya orang Minang.

Bahkan, kalau ada orang Minang yang keluar dari agama Islam (murtad), maka yang bersangkutan secara otomatis tidak lagi berhak disebut sebagai orang Minang. Pendeknya, orang Minang pasti (beragama) Islam, sekalipun semua orang Islam tidak otomatis menjadi orang Minang.

Yang tak kalah menarik ungkapan yang menyertai kalimat ini dalam piagam bukit Marapalam. Ungkapan ini disalin oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dengan tulisan Arab-Melayu, yakni syara’ mangato, adaik mamakai. Ungkapan ini berarti, apapun yang digariskan oleh agama (Islam) akan dipatuhi dan dilaksanakan oleh adat Minang. Lalu bagaimana pengamalannya oleh generasi Minang hari ini?

Imam Bonjol
Ulama dan Pejuang Tangguh

Pemimpin Paderi yang paling menonjol saat melawan penjajah kafir Belanda
Salah satu pemimpin yang menonjol dari kaum Paderi adalah Tuanku Imam Bonjol. Dalam banyak buku sejarah, Imam Bonjol lebih ditonjolkan sebagai sosok pahlawan dan panglima perang kaum Paderi yang ditakuti kolonial Belanda. Kenyataanya memang demikian. Namun di sisi lain, sang pahlawan lagendaris itu sebenarnya juga seorang ”tuanku guru”, ulama yang kharismatis dan kaya ilmu.

Buya Hamka mengisahkan, Imam Bonjol adalah seorang ulama kaya ilmu. Di rumahnya, Imam Bonjol memiliki perpustakaan pribadi, menyimpan berbagai kitab, mulai kitab tafsir, Hadits, tasawuf, fikih, nahwu, sharaf, mantiq, dan ma’ani. Semua kitab itu masih asli tulisan tangan.

Tidak jelas tanggal dan bulannya, namun Imam Bonjol sering ditulis lahir di Tanjung Bungo Bonjol, Pasaman, tahun 1772. Tuanku Imam Bonjol adalah nama gelar yang disandangnya setelah dibaiat sebagai imam atau pemimpin Kaum Paderi, menggantikan Tuanku Nan Receh yang wafat di Kamang pada tahun 1832 karena sakit.

Semasa kecil Imam Bonjol bernama Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin. Namun, di kalangan kaum Paderi, sebelum dibai’at sebagai imam, ia dipanggil Muhammad Syahab atau Tuanku Mudo.
Imam Bonjol banyak mewarisi ilmu agama dari ayahnya, Tuanku Nudin Bayanuddin, yang juga seorang ulama tradisonal di kampungnya. Ayahnya, Nudin, berasal dari Maroko Afrika Utara, dan disebut-sebut sebagai salah satu keturunan Nabi Muhammad SAW.

Setelah mendapat ilmu yang cukup dari ayahnya, Peto Syarif gencar berdakwah di Bonjol Pasaman seperti yang dilakukan ayahnya. Namun, pada usia 24 tahun, Nudin mengirim puteranya itu ke Ampek Anggkek. Di sini ia belajar agama kepada Haji Miskin dan sejumlah ulama yang kemudian dikenal sebagai Dewan Ulama atau Harimau Nan Salapan, majelis tertinggi pergerakan Paderi.

Peto Syarif dikenal murid yang cerdas, pandai berdakwah, dan pemberani. Karena kelebihan itulah, Nan Renceh mengirim Peto Syarif kembali ke Bonjol.

Di kampung kelahirannya ini Peto Syarif diminta melanjutkan dakwah. Ia juga ditugasi membangun sebuah markas pergerakan Paderi yang hendak dijadikan basis pengembangan Islam ke Tapanuli, Mandahiling, dan Tanah Batak.

Peto Syarif melaksanakan perintah Nan Renceh dengan penuh kesungguhan. Ia membangun markas di kaki bukit Tajadi Bonjol yang kemudian dikenal sebagai Benteng Bonjol. Dengan pekerja tidak kurang dari 5 ribu orang per hari, akhirnya ‘Benteng Bonjol’ menjelma menjadi kenyataan. Keliling benteng itu sekitar 800 meter dengan tinggi tembok 4 meter dan tebalnya 3 meter. Di sekelilingnya ditanami pagar aur berduri yang sangat rapat.

Di dalam benteng itu berdiri megah sebuah masjid dan perkampungan pasukan
Paderi serta rakyat yang setiap saat dapat mengerjakan sawah ladangnya untuk keperluan hidup sehari-hari. Sesuai dengan fungsinya, maka benteng Bonjol yang mirip perkampungan Islam itu juga diperlengkapi dengan persenjataan untuk menghalau serangan musuh.

Setelah dinobatkan sebagai imam atau panglima Paderi, Peto Syarif yang kemudian digelari Imam Bonjol, berperan besar dalam periode ketiga perjuangan kaum Paderi melawan kolonial Belanda. Perang ini juga disebut jihad fisabilillah melawan penjajah kafir. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai kelanjutan dari Perang Salib.

Di masa kepemimpinan Imam Bonjol, kaum Paderi berhasil meluaskan pengaruh Islam hingga ke Mandahiling dan tanah Batak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar