Minggu, 21 Agustus 2011

"Garuda Pancasila dan Tatanan Dunia Baru"




Burung garuda yang digantungi perisai itu ialah lambang tenaga pembangun. Di kenal dalam peradaban nusantara, mitos yang dilukiskan di candi Dieng, Prambanan, dan Panataran. Ada kalanya dengan memakai gambaran berupa manusia dengan berparuh burung dan bersayap, sebagaimana di Dieng yang sangat mirip dengan gambaran dewa Horus di Mesir. Kemudian di candi Prambanan dan Sukuh rupanya seperti burung dengan paruh panjang yang melambangkan proses perjalanan kepada keabadian. Meskipun rupanya agak berbeda, tetapi ide dan konsepnya sama dengan mitos burung phoenix yang menjadi salah satu dari sekian banyak simbol Freemasonry.

Gerakan pemuda seperti Boedi Oetomo atau perkumpulan Jong dari berbagai propinsi, sejatinya adalah senjata kelompok Freemason atau dalam bahasa Belanda Vrijmetselarij yang turut berperan dalam proses kemerdekaan Indonesia, di mana kemerdekaan Indonesia sendiri bukanlah karena murni berdasarkan ide kemerdekaan yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 45. Melainkan atas gagasan untuk menjadikan Indonesia sebagai lahan perah bagi kepentingan Freemason. Mengapa? Karena sejumlah tokoh bangsa adalah anggota perkumpulan tersebut.

Monsterverbond adalah kelompok elit dalam VOC yang terdiri dari tiga pilar seperti disimbolkan dalam lambang mason. Dua pilar utama yang melambangkan pilar Jachin dan Boaz adalah gerbang menuju pilar selanjutnya dalam simbol kuil Solomon yang disebut altar batu. Monsterverbond dalam VOC digerakkan oleh dua orang asing dan seorang pribumi. Sejatinya Monsterverbond yang menjadi elit penggerak dalam VOC adalah bagian dari kelompok Freemasonry atau Vrijmetselarij. Dalam sejarah Indonesia pola ini terus menerus dipertahankan. Oleh karena itu banyak tokoh-tokoh di era awal kemerdekaan Indonesia juga masuk dalam kelompok Freemasonry ini, dan tanpa pernah ditulis di buku-buku sejarah sekolahan, merupakan rekanan dengan tokoh-tokoh VOC.

Perisai pada dada Garuda serupa dengan perisai-perisai di beberapa negara yang dikendalikan oleh Freemason, seperti contohnya Inggris. Atau jauh ke belakang sama halnya dengan lambang Ksatria Templar yang kerap diasosiakan dengan pemuja setan yang menyembah Dajjal. Lambang bintang lima di dada Garuda adalah simbol kepala Baphomet, kambing jantang jelmaan iblis. Sengaja ditaruh terbalik untuk mengaburkan bintang pentagram tersebut. Adapun lambang rantai merupakan simbol untuk garis darah (bloodline) kelompok illuminati atau sejenisnya yang menjaga (gatekeeper) keberlangsungan gerakan freemason. Pohon Beringin adalah simbol pohon Sephiroth dalam tradisi mistik Kabbala. Kepala Banteng adalah simbol sapi Samiri yang menjadi sesembahan orang Yahudi ketika Moses meninggalkannya. Dan terakhir adalah padi dan kapas yang tidak ada bedanya dengan zaitun dan gandum yang digenggam elang Amerika Serikat, simbol kesuburan atau sumber kehidupan utama kehidupan manusia yang dijadikan lahan perah, atau sumber daya yang harus dihisap dan dikendalikan oleh Freemason. Intinya adalah Garuda Pancasila dianggap murni representasi simbol-simbol Freemason, Knight Templar, Illuminati, dan sebagainya yang dianggap sebagai pengikut Dajjal.

Berikut di atas adalah sebagian kecil dari tudingan kelompok-kelompok pembela Negara Islam, entah dengan berkedok organisasi dan atas nama apapun, yang telah banyak disebarluaskan di Indonesia. Karena mereka berpendapat bahwa cengkraman Freemason di Indonesia begitu kuat, saking kuatnya telah menghapuskan piagam Jakarta dari Pancasila, dan menjadikan Pancasila sebagai poros ideologi sekuler utama untuk Indonesia. Termasuk dengan bentuk NKRI yang telah final ini ialah hasil rekayasa kesesatan yang sangat gamblang.

Tapi kalau melihat tradisi besarnya adalah adanya pertarungan global antara berbagai macam kepentingan, atau kasarnya mirip era perang dingin antara blok Timur dan Barat dahulu. Demikian pula saat ini, macam-macam kepentingan saling bersaing, yang satunya mengimpikan tatanan dunia baru yang mengacu kepada Novus Ordo Seclorum, sedangkan yang lain menegakkan sistem kekhalifahan dunia. Sementara orang-orang Indonesia berada di posisi tradisi kecil yang selalu diombang-ambingkan oleh corong-corong kepentingan itu melalui berbagai media. Ada televisi, radio, buku, internet, dan lain-lain.

Persis seperti diutarakan oleh Pierre Bourdieu bahwa ruang publik merupakan arena atau wadah produksi kultural. Di dalam suatu arena ada modal (capital) yang digunakan para agen, aktor atau pelaku. Capital tidak selalu identik dengan modal berupa material. Tapi bisa berbentuk kemampuan tertentu yang dimiliki agen, seperti kemampuan intelektual atau kemampuan menulis. Jika agen memiliki capital yang besar sesuai dengan hukum dan kultural arenanya, maka ia akan dapat lebih unggul dibandingkan lainnya. Dalam pertemuan antara satu agen dengan agen yang lain, terdapat istilah yang disebut arena. Arena pun bermacam-macam. Bourdieu menyebutkan beberapa arena dalam penjelasannya yaitu arena ekonomi, pendidikan, politik, dan kultural.

Dalam pandangan Alberto Melucci, konflik di abad 21 ini banyak disebabkan oleh aktor-aktor yang saling memerebutkan kontrol dalam domain publik maupun privat. Dan senjata paling ampuh adalah penggunaan cultural codes, sistem tanda, produksi informasi, atau apa yang disebut sebagai kuasa simbolik dalam istilah Bourdieu. Dengan carut marutnya pertarungan sistem tanda ini, Baudrillard mengindikasikan bahwa manusia telah memasuki kondisi hiperrealitas. Implikasinya kalau mau ditarik pada ranah mikro ke dalam sebuah negara semisal Indonesia, atau lebih spesifik rakyat Indonesia, yakni seperti yang kita saksikan sekarang ini; situasi politik yang penuh dengan kegamangan. Contohnya adalah kita masih sibuk membicarakan persoalan bentuk negara, dasar negara, lambang negara dan sebagainya.

Untuk bendera negara yang terdiri dari merah-putih, oleh penyuka teori-teori secret society, symbology, elite system, dan sebagainya. Merah-putih merupakan alegori mistik lambang papan catur hitam-putih dalam tradisi Freemason yang ide dasarnya diambil dari floor checkered. Bentuk alegori lainnya seperti biru-putih pada bendera Israel. Dan masih banyak lagi hidangan permainan simbol semacam ini, terutama yang diperuntukkan bagi Indonesia dan pondasi-pondasi negaranya.

So what? Apakah rakyat negeri ini akan terus mau diombang-ambingkan dalam sebuah simulasi realitas yang penuh pertarungan sistem tanda ini. Antara masing-masing komunitas saling bersaing dengan produksi kultural mereka. Tapi pertanyaannya adalah apakah kita mau menyerahkan diri untuk sengaja berada dalam kondisi kefanatikan terhadap masing-masing pihak atau kepentingan yang kita bela atau yakini? Seperti kondisi di era perang dingin antara Sekutu dan Soviet, kita dipaksa memilih dua kekuatan dan dipaksa menjadi fanatik membela masing-masing pihak. Sekarang pun polanya sama atau sengaja dibiarkan sama, agar orang-orang yang menganggap diri mereka elit dari tiap kelompok dapat menjaring pengikut sebanyak-banyaknya demi menggolkan kepentingan mereka.

Sedangkan dalam arena pertarungan berbentuk elips bernama Bumi ini, manusia bisa menggunakan segala macam cara, baik persuasif maupun represif. Perang simbol atau perang senjata api. Entah kondisi hiperrealitas ini akan membawa manusia, terlebih orang-orang Indonesia ke arah mana. Tetapi biasanya orang yang terus bergantung pada sistem elitis, yakni menganggap elit (mensakralisasi) orang lain, atau institusi seperti lembaga politik atau agama, organisasi rahasia atau organisasi massa, tokoh-tokoh tertentu, dan sebagainya. Maka tujuan hidupnya cuma satu, berusaha masuk dalam lingkaran elit tersebut meski dengan segala cara ditempuhnya.

Nasib sebagai rakyat kebudayaan pinggiran, jadi terombang-ambing antara satu kebudayaan besar satu ke kebudayaan besar lain. Kapan ya jadi pemilik kebudayaan besar yang mempengaruhi dunia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar