Pengertian Fiqih
1. 1. Pengertian Fiqih Secara Etimologi
Fiqh (الفقه) adalah bahasa Arab dalam bentuk mashdar (kata dasar) yang fi’il-nya (kata kerjanya) adalah فقه يفقه فقها. Kata fiqh semula berarti العلم (pengetahuan) dan الفهم (pemahaman). Al-fiqh, al-‘ilm dan al-fahm merupakan kata-kata yang sinonim. Dalam bahasa Arab dikatakan:
فلان يفقه الخير و الشر
“Si fulan mengetahui dan memahami kebaikan dan keburukan”.
Al-Jurjani mengatakan bahwa al-Fiqh menurut bahasa berarti:
فهم غرض المتكلم عن كلامه
“Memahami maksud pembicara dari perkataannya”.
Tetapi Imam muhammad Abu Zahrah sedikit membedakan antara lafadz “al-Fiqh” dengan “al-Fahm”. Beliau mengatakan bahwa al-Fiqh berarti:
الفهم العميق النافذ الذي يتعرف عليك الأقوال والأفعال
“Pemahaman yang mendalam lagi tuntas yang dapat menunjukkan tujuan dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan”.
Dalam al-Qur’an banyak digunakan kata al-Fiqh dengan arti mengetahui dan memahami secara umum, sebagaimana tersebut di atas dengan berbagai perubahan bentuknya, di antaranya adalah:
فما ل هؤلاء القوم لا يكادون يفقهون حديثا
“Mengapa kaum munafiq itu hampir tidak dapat memahami hakikat kebenaran…”. (QS. Al-Nisa`: 78)
قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول
“…Mereka berkata: Hai Syu’aib, kami tidak begitu mengerti tentang apa yang engkau bicarakan…”. (QS. Hud: 91)
وطبع علي قلوبهم فهم لا يفقهون
“…Karena itu Tuhan menutup hatinya, sehingga mereka tidak mengerti”. (QS. Al-Taubah: 87)
فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين
“…Mengapa tidak berangkat pula dari tiap-tiap golongan itu satu rombongan lain untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama…”? (QS. Al-Taubah: 122)
Demikian pula sabda Rasulullah SAW:
من يرد الله خيرا يفقهه في الدين
“Barang siapa dikehendaki Allah mendapat kebaikan, niscaya Allah akan berikan kepadanya mengerti tentang agama”.
Jelaslah bahwa kata al-Fiqh menurut bahasa, dari semua ayat dan hadits di atas, berarti pengetahuan, pemahaman dan pengertian terhadap sesuatu secara mendalam. Pengertian ini sangat luas karena meliputi aqidah, ‘ibadah, mu’amalah dan akhlak.
Secara istilah (terminologi), fiqh didefinisikan secara eksklusif yang terbatas pada hukum-kuhum yang praktis (‘amali) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili). Definisi tersebut bisa dilihat berikit ini:
Imam Abu Zahrah mengatakan bahwa al-Fiqh adalah:
العلم بالأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية
“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali)yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.
Abdul Wahab Khalaf mengemukakan bahwa al-Fiqh adalah:
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسبة من أدلتها التفصيلية
“Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali) yang diusahakan dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.
Lebih jelas lagi imam Abu Hamid al-Ghazali (wafat tahun 5O5 H) mendefinisikan al-Fiqh sebagai ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang ditetapkan secara khusus bagi perbuatan-perbuatan para manusia (mukallaf) seperti wajib, haram, mubah, sunnah, makruh, perikatan yang sahih (sah), perikatan yang fasid (rusak) dan yang batal, serta menerangkan tentang ibadah yang dilaksanakan secara qada’ (pelaksanaannya di luar ketentuan waktunya) dan hal-hal lain semacamnya.
Jadi, hukum-hukum syara’ yang praktis yang lahir sebagai hasil dari dalil-dalil yang terperinci itu dinamakan al-Fiqh, baik ia dihasilkan dengan melalui ijtihad ataupun secara langsung hasil pemahaman terhadap teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Jelaslah bahwa hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah dan akhlak tidak termasuk dalam pembahasan ilmu fiqih.
B. Obyek Kajian Ilmu Fiqih
Yang menjadi obyek kajian ilmu fiqih adalah segala perbuatan, perkatan dan tindakan mukallaf (orang muslim yang mampu dibebani hukum, sudah baligh, tidak gila) dari segi hukum, termasuk hukum-hukum yang mensifati perbuatan para mukallaf itu, seperti wajib, sunnah, makruh, mubah, sah, batal, ada’, qada’ dan lain sebagainya.
Menurut Muh. Salim Madkur, hukum-hukum praktis (‘amaliyah) yang lahir dari perbuatan, perkataan dan tindakan para mukallaf itu pada garis besarnya ada dua bagian, yaitu:
1. Yang berkaitan dengan hubungan antara mukallaf dengan Allah SAW. dinamakan dengan “fiqih ibadah”.
2. Yang berkaitan dengan perbuatan Mukallaf secara individual dan bermasyarakat dinamakan dengan “fiqih mu’amalah”.
C. Pembagian Fiqih
Sebenarnya fiqih dibagi dalam banyak bagian, diantaranya fiqh al-‘ibadah, fiqh al-munakahah, fiqh al-buyu’, fiqh al-mawarits, fiqh al-jinayat dan lain-lain. Tetapi secara global dan praktis, para ulama hanya membaginya dalam dua bagian besar yang sering dinamakan dengan fiqh ‘ibadah dan fiqh al-mu’amalah. Masing-masing pembagian tersebut memiliki prinsip dasar yang menjadi acuan utama penentuan hukum pada masalah tersebut:
1. 1. Prinsip Dasar Ibadah:
الأصل في العبادة البطلان إلا ما دلّ الدليل علي خلافه
“Pada dasarnya ibadah itu batal (dilarang) kecuali ada dalil yang menyelisihinya (membolehkannya)”.
Prinsip di atas hasil interpretasi deduktif dari al-Qur’an dan al-Hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW, diutus tidak lain adalah untuk meluruskan cara beribadah dan berakhlak masyarakat jahiliyah yang telah melenceng dari ketentuan Allah.
1. 2. Prinsip dasar Mu’amalah:
الأصل في المعاملة الإباحة إلا ما دلّ الدليل علي خلافه
“Pada dasarnya mu’amalah itu boleh kecuali ada dalil yang menyelisihinnya (melarangnya)”.
Timbul persoalan di seputar batasan mu’amalah; apakah semua persoalan yang ada di luar ibadah mahdlah (selain shalat, puasa, haji, zakat, dzikir dan do’a) itu termasuk muamalah, meskipun ditegaskan dalam nash secara tegas (sharih)? Ataukah yang dinamakan muamalah hanyalah hal-hal yang tidak ada ada ketegasan dari Allah dan Rasul-Nya?
Dari pemahaman yang ada tentang muamalah akan memberikan dampak yang berbeda ketika hukum diterapkan dalam realitas kehidupan. Orang yang berpandangan pertama akan lebih luas dalam memandang persoalan (kontekstual), sementara yang kedua sangat kaku (tekstual).
D. Sumber Fiqih
Pada hakekatnya, hukum-hukum fiqih dan juga seluruh hukum Islam lainnya bersumberkan wahyu, baik berupa al-Qur’an, al-Sunnah maupun berupa ketentuan-ketentuan yang diambil dari jiwa dan maksud-maksud syara’. Apabila dipahami keterangan-keterangan atau batasan-batasan yang diberikan oleh para ahli Usul fiqih di atas, maka nyatalah bahwa sumber-sumber fiqih itu adalah kitab Allah dan Sunnah Rasul. Dan disamping itu, hukum-hukum fiqih ditetapkan pula dengan jalan al-ijma’ dan al-ra’yu (ijtihad).
Keempat dalil tersebut (al-Qur’an, hadits, al-ijma dan al-ra’yu), mereka namakan dalil-dalil tafsili, yaitu dalil-dalil jelas yang masing-masing menunjukkan kepada suatu hukum bagi suatu perbuatan tertentu.
Dasar penggunaan ke empat dalil tersebut, mereka tetapkan berdasarkan tafsir dari firman Allah swt:
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم فإن تنازعتم في شيئ فردّوه إلي الله والرسول ……
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-qur’an) dan Rasul (sunnahnya)….”. (QS. Al-Nisa`: 59).
Dengan demikian, para fuqaha’ menetapkan bahwa sumber-sumber fiqih itu ada empat, yaitu: kitab Allah, sunnah Rasul, ijma’, dan qiyas. Keempat sumber itu diambil dari firman Allah swt tersebut di atas, dengan perincian:
1. Kitab Allah, ditunjukkan oleh lafaz: أطيعوا الله
2. Sunnah rasul, ditunjukkan oleh lafadz: وأطيعوا الرسول
3. Ijma’, ditunjukkan oleh lafadz: وأولى الأمر منكم
4. Qiyas, ditunjukkan oleh lafadz: فإن تنازعتم في شيئ فردّوه إلي الله والرسول
E. Metode Ilmu Fiqih
Metode yang digunakan dalam ilmu fiqih bersifat induktif yaitu dengan mempelajari dan memahami permasalahan yang tumbuh berkembang dalam kehidupan manusia dan masyarakat, kemudian menganalisisnya dengan berdasarkan kepada nash-nash yang ada, baik dalam al-Qur’an maupun Al-Sunnah. Kecuali hal-hal yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, karena kebanyakan bersifat ghair ma’qul al-makna (tidak dapat dirasionalisasikan), maka metode yang digunakan banyak bersifat deduktif.
Dalam persoalan-persoalan yang sudah terdapat nash-nya secara tegas, baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, maka persoalan tersebut langsung dapat dicari status hukumnya dari nash yang ada. Tetapi persoalan-persoalan yng secara tegas tidak disebutkan dalam nash al-Qur’an dan al-Sunnah, karena nash yang ada masih bersifat global dan umum, maka untuk mencari status hukum dari persoalan-persoalan tersebut dibutuhkan pengkajian dan penelitian mendalam terhadapnya melalui metode ijtihad yang berdasarkan kepada jiwa syara’ secara umum (Maqasid al-Syari’ah). Pendekatan yang digunakan bisa melalui ijma’, qiyas, al-istihsan, al-istislah (al-maslahah al-mursalah), al-istishab, syar’u man qablana, al-urf dan saddu adz-dzari’ah.
F. Karakteristik Fiqih Islam
Fiqih Islam memiliki karakteristik khusus yang membedakan dengan hukum-hukum lainnya. Karakteristik ini bisa dijadikan landasan berbijak atau paradigma ketika menyusun hukum formal Islam yang akan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karakteristik yang dimaksudkan antara lain:
1. 1. Sempurna
Syariat Islam diturunkan dalam bentuk umum dan garis besar. Karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah karena perubahan masa dan tempat. Bagi hukum-hukum yang lebih rinci, syariat Islam hanya menetapkan kaidah dan memberikan patokan umum. Penjelasan dan rinciannya diserahkan kepada ijtihad pemuka masyarakat.
Dengan menetapkan patokan-patokan umum tersebut, syariat Islam dapat benar-benar menjadi petunjuk yang universal dan dapat diterima di semua tempat dan di setiap saat. Selain itu, umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan al-Qur’an, sehingga mereka tidak melenceng.
Penetapan al-Qur’an terhadap hukum dalam bentuk global dan simpel itu dimaksudkan untuk memberikan kebebasan pada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan sifatnya yang global ini diharapkan hukum Islam dapat belaku sepanjang masa.
1. 2. Elastis
Fiqih Islam juga bersifat elastis (lentur dan luwes), ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan Khalik, serta tuntutan hidup dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Fiqih Islam memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik bidang ibadah, muamalah, jinayah dan lain-lain. Meski demikian, ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa. Ia hanya memberikan kaidah-kaidah umum yang mesti dijalankan oleh manusia.
1. 3. Universal dan Dinamis
Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi alam tanpa batas, tidak seperti ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘ajam (non arab), kulit putih dan kulit hitam. Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan pemilik hukum itu sendiri yang kekuasaan-Nya tidak terbatas. Di samping itu hukum Islam mempunyai sifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).
Bukti yang menunjukkan apakah hukum Islam memenuhi sifat tersebut atau tidak, harus dikembalikan kepada al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan wadah dari ajaran Islam yang diturunkan Allah kepada umatnya di muka bumi. Al-Qur’an juga merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk manusia.
4. Sistematis
Arti dari pernyataan bahwa hukum Islam itu bersifat sistematis adalah bahwa hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Perintah sholat dalam al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Perintah beriman dan bertakwa senantiasa dibarengi dengan perintah beramal saleh. Ini berarti hukum Islam tidak mandul yang hanya berkutat pada hubungan vertikal kepada Allah dan hanya berupa keyakinan semata. Akan tetapi merupakan hukum yang menyatu dengan hubungan horizontal sesama manusia dan hukum yang harus diamalkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
1. 5. Hukum Islam Bersifat Ta’aqquli dan Ta’abbudi
Hukum Islam mempunyai dua dasar pokok; al-Qur’an dan sunnah Nabi. Di samping dua sumber pokok tersebut, ajaran Islam juga memiliki sumber lain yaitu konsensus masyarakat (ulama) yang mencerminkan suatu transisi ke arah satu hukum yang berdiri sendiri (penafsiran terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah).
Untuk memahami kedua sumber tersebut perlu digunakan kejernihan hati dan fikiran, kecerdasan dan pengetahuan dan mempertimbangkan konteks masyarakat yang ada. Hal ini karena di dalam kedua sumber tersebut terdapat ajaran yang bersifat ta’abbudi (tidak bisa dirasionalisasika) dan ada yang bersifat ta’aqquli (bersifat rasional).
G. Prinsip Dasar Fiqih
Prinsip-prinsip dasar fiqih Islam (al-qawaid al-fiqhiyah) sebenarnya sangat banyak sekali, karena masing-masing ulama madzhab memiliki prinsip hukum sendiri-sendiri sebagai metode meneliti dan menganalisis suatu kasus hukum. Selanjutnya dengan prinsip-prinsip yang merupakan hasil istimbat yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah itu, mereka menetapkan status hukum bagi persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Karena keberagaman prinsip yang digunakan para ulama yang satu dengan yang lainnya saling berbeda, maka status hukum yang dihasilkannya pun tidak jarang berbeda.
Di antara prinsip-prinsip fiqih tersebut, ada lima prinsip yang diakui oleh semua ulama, yaitu:
1. الأمور بمقاصدها
“segala perkara (perbuatan) itu tergantung niatnya.”
Prinsip pertama ini merupakan prinsip yang paling penting dan mendasar, sehingga mereka semua selalu menempatkannya pada urutan pertama. Bahkan dalam kitab-kitab hadits, hal-hal yang berkaitan dengan niat selalu ditempatkan pada awal bab. Hal ini karena niat ikhlas kepada Allah dalam semua perbuatan—baik dalam lingkup ibadah maupun muamalah—merupakan ruh yang dijadikan standart penilaian Allah SWT.
Prinsip ini bersumber dari beberapa ayat al-Qur’an dan sabda Rasulullah SAW, di antaranya adalah:
ومن يخرج من بيته مهاجرا إلي الله ورسوله ثم يدركه الموت فقد وقع أجره علي الله وكان الله غفورا رحيما
“Dan barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan niat berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya semata, lalu ia dijemput kematian (sebelum terlaksana), maka pahalanya sudah ada di sisi Allah. dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. Al-Nisa`: 100)
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين
‘”Dan mereka tidak diperintah kecuali agar beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan tunduk kepada-Nya”. (QS. Al-Bayyinah: 5)
ومن يفعل ذلك ابتغاء مرضاة الله فسوف نؤته أجرا عظيما
“Dan barang siapa mengerjakan itu (dengan niat) mencari ridha Allah, maka kelak akan Kami berikan pahala yang besar”. (QS. Al-Nisa`: 114).
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى ………
“Sesungguhnya semua perbuatan itu tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan seperti yang di niatkannya. Barang siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya benar-benar untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa berhijrah untuk mengejar dunia semata atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya hanya memperoleh apa yang di inginkannya”.
Sebenarnya masih banyak ayat al-Qur’an dan hadist yang menyebutkan tentang pentingnya niat dalam semua perbuatan. Namun dasar-dasar di atas dipandang cukup sebagai sumber terbentuknya prinsip dasar Islam pertama yang diletakkan para ahli fiqih.
Prinsip ini mengajarkan bahwa segala perbuatan, baik dalam bidang ibadah mahdlah (hubungan seorang hamba dengan Tuhannya) atau bidang muamalah (hubungan sesama manusia dan alam) harus selalu di landasi oleh niat hanya mencari ridha Allah, tidak tercampur sedikitpun oleh riya’, sum’ah dan hal-hal yang dapat merusak pahala perbuatan tersebut.
2. الضرر يزال
“segala kerusakan harus dihilangkan”
Prinsip ini merupakan prinsip yang paling dasar dalam fiqih Islam, yaitu menghilangkan kerusakan dan kemudaratan. Hal ini karena Islam diturunkan oleh Allah memiliki maksud fundamental yaitu menyebarkan maslahah (kebaikan) dan menghilangkan mafsadah (kerusakan). Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam bertitik tolak dari prinsip ini, sehingga Islam menjadi rahmatan li al-‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Sumber yang melahirkan prinsip ini di antaranya adalah:
وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف أو سرحوهن بمعروف ولاتمسكوهن ضرارا لتعتدوا …
“Dan apabila kamu menceraikan istri-istrimu lalu mereka sudah sampai kepaa masa iddah-nya, maka pertahankanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah dengan cara yang baik pula. Dan janganlah kamu mempertahankan mereka karena ingin memberikan kemudaratan (menyiksa) hingga kamu melampaui batas….”. (QS. Al-Baqarah: 231)
لا تضار والدة بولدها ولا مولود بولده
“Janganlah seorang ibu tertimpa bahaya karena anaknya, dan tidak boleh juga seorang anak terkena bahaya karena anaknya…..”. (QS. Al-Baqarah: 233).
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh memberikan mudharat (bahaya) kepada diri sendiri dan tidak boleh juga kepada orang lain”.
3. المشقة تجلب التيسير
“Segala kesulitan akan membawa kemudahan”.
Banyak sekali ayat al-Qur’an maupun hadist Nabi yang mengisyaratkan adanya kemudahan dalam menjalankan ajaran Islam, ketika manusia tidak mampu menjalankan ajaran sebagaimana perintah Allah. Selain itu juga banyak ayat yang menyatakan bahwa setiap ada kesulitan di situ ada kemudahan. Allah tidak menghendaki kesulitan bagi manusia, tetapi Allah menghendaki kemudahan.
Macam-macam kesulitan yang bisa memberikan kemudahan antara lain adalah:
1. Sakit. Karena sakit orang boleh bertayamum sebagai ganti wudhu dan mandi. Karena sakit orang boleh tidak berpuasa bulan ramadhan, tetapi wajib mengganti pada waktu yang lain, atau mengganti dengan membayar fidyah atau tidak mengganti sama sekali karena ketiadaan kemampuan untuk mengerjakan ketentuan yang diajarkan. Karena sakit orang boleh salat fardhu dengan duduk atau berbaring.
2. Bepergian. Karena bepergian seorang muslim boleh shalat qashor. Karena bepergian orang boleh tidak berpuasa bulan ramadhan, dan mengganti pada hari yang lain. dan orang juga boleh tidak shalat jum’at ketika bepergian.
3. Keadaan terpaksa. Karena keadaan terpaksa seorang boleh makan bangkai atau daging babi, karena bila tidak memakannya ia akan mati. Jika keadaan memaksa seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang bukan muhrimnya untuk kepentingan operasi, atau ia dibolehkan melakukan aborsi karena nyawa ibunya akan terancam bila tidak digugurkan kandungannya. Seorang juga boleh mengucapkan kalimat kekafiran (menyebabkan mereka jadi kafir) bila keadaan terpaksa, yaitu bila ia tidak melakukannya maka ia akan dibunuh.
4. Lupa. Keadaan lupa, menurut hadist Nabi, bisa menggugurkan tanggung jawab. Orang yang berpuasa, tiba-tiba ia makan pada siang hari dengan benar-benar karena lupa, maka itu tidak membatalkan puasanya. Namun lupa di sini dapat diterapkan pada sesuatu yang berkaitan dengan hak Allah. sedangkan lupa yang berkaitan dengan hak manusia tetap dituntut untuk menunaikannya. Orang tidak boleh merusak barang orang lain dengan alasan lupa dan ia bisa dituntut untuk menggantinya.
5. Kesukaran dan balak yang merata. Shalat dipandang syah dilakukan di tempat yang penuh kotoran karena sukar mencari alternatif atau adanya bencana. Wanita haid dilarang shalat dan tidak menggantikannya pada waktu yang lain, karena hal itu sukar dilakukan.
6. Kurang sempurna. Kewajiban dibebaskan dari anak yang belum baligh karena belum sempurna akalnya. Orang gila dibebaskan dari shalat dan puasa karena kurang sempurna akalnya.
4. اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan”.
Prinsip ini diangkat dari hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Rasulullah bersabda:
“Jika salah seorang dari kamu merasakan sesuatu di perutnya, kemudian meragukan apakah keluar angin dari perutnya ataukah tidak, ia jangan kaluar dari masjid hingga mendengar suara atau mencium bau”
Juga hadist lain yang diriwayatkan oleh Muslim juga bahwa Rasulullah bersabda:
“Jika salah seorang dari kamu ragu-ragu di dalam shalatnya sehingga tidak tahu berapa rekaat yang telah dilakukan, apakah baru tiga ataukah empat rekaat, buanglah keraguan dan tetapkanlah (bilangan rekaat) atas yang diyakininya”.
Dalam hadist kedua, yang diragukan adalah rekaat keempat dan yang diyakininya adalah rekaat ketiga. Dengan demikian, jika terjadi keraguan, maka yang ditetapkan adalah bahwa dia baru mengerjakan tiga rakaat. Dalam kasus lain, dapat disebutkan misalnya, jika seseorang ragu-ragu apakah telah berwudhu atau belum, harus ditetapkan belum berwudhu. Jika ragu apakah wudhunya telah batal atau belum, harus ditetapkan belum batal. Jika orang ragu-ragu telah membayar hutang puasa atau belum, harus ditetapkan belum membayar. Dan jika ragu-ragu apakah dia berhutang puasa atau tidak, harus ditetapkan tidak berhutang.
5. العادة محكمة
“Adat-istiadat (kebiasaan) bisa dijadikan (pertimbangan) hukum”.
Prinsip dasar di atas didasarkan kepada beberapa nash al-Qur’an yang mengajarkan ukuran kepantasan dalam berbagai macam aturan hukum. Misalnya surat al-Baqarah: 233 yang menyatakan:
وعلي المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf (kata dasarnya al-urf yang berarti kebiasaan)”. (QS. Al-Baqarah: 233).
Cara yang ma’ruf adalah cara yang pantas menurut adat kebiasaan setempat yang berlaku. Juga ayat 241 dari surat yang sama, Allah menyatakan:
وللمطلقات متاع بالمعروف حقا علي المتقين
“Kepada wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah (pemberian) menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban atas orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 241).
Kata ma’ruf yang dimaksud sama artinya dengan kata ma’ruf ayat sebelumnya.
Adat istiadat dapat dikokohkan jika memenuhi syarat-syarat utama sebagai berikut:
1. Dapat diterima dengan kemantapan jiwa oleh masyarakat, didukung oleh pertimbangan akal yang sehat dan sejalan dengan tuntutan watak pembawaan manusia.
2. Benar-benar merata menjadi kemantapan umum dalam masyarakat dan dijalankan terus-menerus secara kontinyu.
3. Tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau sunnah Rasul yang sahih.
Mengokohkan adat istiadat berarti memungkinkan berlakunya hukum adat bagi kaum muslimin selagi tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau sunnah Nabi. Mengokohkan adat berarti pula bahwa hukum adat istiadat dapat dibenarkan berlaku terus sepanjang tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau sunnah Rasul-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar