Alquran adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah saw. untuk mengeluarkan manusia dari suasana gelap menuju terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah saw. menyampaikan Alquran kepada para sahabatnya, orang Arab asli. Sehingga, mereka dapat memahaminya berdasarkan nalurinya. Bila mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya kepada Rasulullah saw.
Pengertian, Pertumbuhan, dan Perkembangannya
Imam Bukhari, Imam Muslim, dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a., katanya, “Ketika ayat yang ertinya, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman’ diturunkan, banyak orang yang merasa resah. Mereka kemudian menanyakannya kepada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah saw., siapakah di antara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya?” Nabi menjawab, “Kezaliman di sini bukan seperti yang kamu fahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh, ‘Sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang besar’.” (Luqman: 13). Jadi, yang dimaksud dengan kezaliman di sini adalah kemusyrikan.”
Di samping itu, Rasulullah saw. juga menafsirkan untuk mereka beberapa ayat. Dalam riwayat Muslim dan yang lainnya dari Uqbah bin Amir berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. berkata di atas mimbar yang ertinya, ‘Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi.’ (Al-Anfal: 60). Ingatlah bahawa kekuatan di sini adalah memanah.”
Para sahabat sangat berminat untuk menerima Alquran dari Rasulullah saw., menghafal dan memahaminya. Ini merupakan suatu kehormatan bagi mereka. Anas r.a. berkata, “Seseorang di antara kami bila telah membaca surah Al-Baqarah dan Ali Imran, orang itu menjadi besar dalam pandangan kami.” Begitu pula mereka selalu berusaha mengamalkan Alquran dan memahami hukum-hukumnya.
Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami yang mengatakan, “Mereka yang membacakan Alquran kepada kami, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud serta yang lain menceritakan bahawa bila mereka belajar dari Nabi sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada di dalamnya. Mereka berkata, ‘Kami mempelajari Alquran berikut ilmu dan amalnya sekaligus’.”
Rasulullah saw. tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dirinya, selain Alquran, kerana beliau khawatir akan tercampur dengan yang lain.
Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu menulis dari aku. Barang siapa menulis dari aku selain Alquran, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia menempati tempatnya di api neraka.”
Sekalipun setelah itu Rasulullah saw. mengizinkan kepada sebahagian sahabat untuk menulis hadis, tetapi hal yang berhubungan dengan Alquran tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah saw. di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar ra.
Kemudian datang masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. dan keadaan menghendaki (seperti yang akan kami jelaskan nanti) untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut “Mushaf Imam”. Salinan-salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa provinsi. Penulisan mushaf tersebut disebut Ar-Rasmu al-Utsmani, iaitu dinisbahkan kepada Utsman. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu rasmi quran.
Kemudian datang masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a. Dan atas perintahnya, Abul Aswad ad-Du’ali meletakkan kaedah-kaedah nahu, cara pengucapan yang tepat dan baku, serta memberikan ketentuan-ketentuan harakat pada Alquran. Ini juga dianggap sebagai permulaan i’raabil quran.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Alquran dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeza-beza di antara mereka, sesuai dengan kemampuannya yang berbeza-beza dalam memahami, dan kerana adanya perbezaan lama tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah saw. Hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, iaitu para tabi’in.
Di antara para mufassir(ahli tafsir) yang termasyhur dari kalangan sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibnu Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’ab, Abdurrahman bin Auf , Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asyari dan Abdullah bin Zubair.
Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas dan Ubai bin Ka’ab. Dan, apa yang diriwayatkan dari mereka tidak bererti sudah merupakan tafsir Alquran yang sempurna, tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi’in, di antara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat, di samping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Di antara murid-murid Ibnu Abbas di Mekah yang terkenal ialah Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, bekas hamba sahaya (maula) Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan al-Yamani dan Atha’ bin Abi Rabah. Sementara, di antara murid-murid Ubay bin Ka’ab yang terkenal di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi. Di antara murid-murid Abdullah bin Mas’ud di Iraq yang terkenal adalah al-Qamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri, dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun mengenai ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk Mekah, kerana mereka sahabat Ibnu Abbas, seperti Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah, maula Ibnu Abbas lainnya, seperti Thawus, Abusy-Sya’sa, Said bin Jubair, dan lain-lainnya. Begitu pula penduduk Kufah dari sahabat Ibnu Mas’ud, dan mereka itu mempunyai kelebihan dalam ilmu tafsir di antaranya adalah Zubair bin Aslam, Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb, mereka berguru kepadanya. Dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu gharibil quran, ilmu makki wal madani dan ilmu nasikh dan mansukh. Tetapi, semua ini didasarkan pada riwayat dengan cara didik tekan.
Pada abad ke-2 Hijriah tiba masa pembukuan (tadwin) yang dimulai dengan pembukuan hadis dengan segala babnya yang bermacam-macam, dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan dengan tafsir. Maka, sebahagian ulama membukukan tafsir Quran yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dari para sahabat atau dari para tabi’in. Di antara mereka itu, yang terkenal adalah Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160 H), Waki’ bin Jarrah (wafat 197H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198), dan Abdurrazaq bin Hammam (wafat 112). Mereka semua adalah para ahli hadis; tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bahagiannya. Namun, tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita. Kemudian, langkah mereka itu diikuti oleh segolongan ulama. Mereka menyusun tafsir Alquran yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang paling terkenal di antara mereka adalah Ibn Jarir at-Thabari (wafat 310 H).
Demikianlah, tafsir pada mulanya dinukil (dipindahkan) melalui penerimaan dari riwayat (dari mulut ke mulut), kemudian dibukukan sebagai salah satu bahagian hadis, selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka, berlangsunglah proses kelahiran tafsir bil ma’tsur (tafsir berdasarkan riwayat), lalu diikuti oleh at-tafsir bir ra’yi (tafsir berdasarkan penalaran).
Di samping ilmu tafsir, lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan Alquran, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufassir (ahli tafsir).Ali bin al-Madini (wafat 234 H) yang merupakan guru Bukhari menyusun karangan tentang asbaabun-nuzuul. Abul Ubaid al-Qasim bin Salam (wafat 224) menulis Naasikh wal-Mansuukh dan Qira-at.
Ibnu Qutaibah (wafat 276 H) menyusun tentang permasalahan quran (Musykilaatul Qur’an). Mereka semua termasuk ulama abad ke-3 Hijriah.
Muhammad bin Khalaf bin Marzaban (wafat 309 H) menyusun Al-Haawi wa-Uluumil Quraan.
Abu Muhammad bin Qasim al-Anbari (wafat 751 H) juga menulis tentang ilmu-ilmu Alquran.
Abu Bakar as-Sijistani (wafat 330 H) menyusun Ghariibul Qur’an.
Muhammad bin Ali al-Adfawi (wafat 388 H) menyusun Al-Istighna’ fii ‘Uluumil Qur’an.
Mereka ini adalah ulama-ulama abad ke-4 Hijriah.
Dan, sesudah itu kegiatan karang-mengarang dalam ilmu Alquran terus berlangsung.
Abu Bakar al-Baqalani (wafat 403 H) menyusun I’jaazul Qur’an, dan Ali Ibrahim bin Said al-Hufi (wafat 430 H) menulis I’rabul Qur’an. Al-Mawardi (wafat 450 H) mengenai tamsil-tamsil dalam Quran (Amtsaalul Qur’an). Al-Izz bin Abdussalam (wafat 660 H) tentang majaz dalam Alquran. Alamudin as-Sakhawi (wafat 643 H) menulis mengenai ilmu qiraat (cara membaca Alquran), dan Aqsaamul quraan. Setiap penulis dalam karangannya itu menulis bidang dan pembahasan tertentu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu Quran.
Syekh Muhammad Abdul Aziz az-Zarqani menyebutkan dalam kitabnya, Manaahilul ‘Irfaan fii Uluumil Qura’an, bahawa ia telah menemukan dalam perpustakaan Mesir sebuah kitab yang ditulis oleh Ali bin Said yang terkenal dengan Al-Hufi, judulnya Al-Burhaan fii Uluumil Qura’an yang terdiri dari 30 jilid. Dari ke-30 jilid itu ada 15 jilid yang tidak tersusun dan tidak berurutan. Pengarang membicarakan ayat-ayat Alquran menurut tertib mushaf. Dia membicarakan ilmu-ilmu Alquran yang terkandung ayat itu secara sendiri, masing-masing diberi judul sendiri pula, dan judul yang umum disebutkan dalam ayat, dengan menuliskan alqaul fii qaulihi ‘Azza wa Jalla (pendapat mengenai firman Allah ), lalu disebutnya ayat itu. Kemudian di bawah judul ini dicantumkan alqaul fii al-Ii’rab (pendapat mengenai morfologi). Di bahagian ini ia membicarakan ayat dari sisi nahu dan bahasa. Selanjutnya al-qaul fil ma’na wat tafsiir (pendapat mengenai makna dan tafsirnya). Di sini ia jelaskan ayat itu berdasarkan riwayat (hadis) dan penalaran. Setelah itu al-qaul fil waqfi wal tamam (pendapat mengenai tanda berhenti dan tidak). Di sini ia menjelaskan tentang waqaf yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Terkadang qira’at diletakkan dalam judul tersendiri, yang disebutnya dengan al-qaul fil qira’at (pendapat mengenai qira’at). Kadang ia berbicara tentang hukum-hukum yang diambil dari ayat ketika ayat dibacakan.
Dengan method seperti ini, Al-Hufi dianggap sebagai orang pertama yang membukukan ulumul qur’an (ilmu-ilmu Alquran), meskipun pembukuannya memakai cara tertentu seperti disebutkan tadi. Ia wafat pada tahun 330 Hijriah.
Kemudian, Ibnul Jauzi (wafat 597 H) mengikutinya dengan menulis sebuah kitab berjudul Fununul Afnan fi Ajaa’ibi Uluumil Qur’an. Lalu, tampil Badrudin az-Zarkasyi (wafat 794 H) menulis sebuah kitab dengan judul Al-Burhan fi Uluumil Qur’an Jalaaludin al-Baqini (wafat 824 H) memberikan tambahan atas Al-Burhan di dalam kitabnya Mawaaqi’ul Uluum min Maawaqi’in Nujum, Jalaludin as-Suyuti (wafat 911 H) juga kemudian menyusun kitab yang terkenal Al-Itqan fi Uluumil Qura’an.
Kepustakaan ilmu-ilmu Quran pada masa kebangkitan moden tidaklah lebih kecil daripada nasib ilmu-ilmu yang lain. Orang-orang yang menghubungkan diri dengan gerakan pemikiran Islam telah mengambil langkah yang positif dalam membahas kandungan Quran dengan method baru pula, seperti I’jaazul Qura’an yang ditulis oleh Mustafa Sadiq ar-Rafi’i, kitab At-Taswiirul Fanni fil Qur’an dan Masyaahidul Qiyamah fil Qur’an oleh Sayyid Qutb, Tarjamatul Qur’an oleh Syekh Mustafa al-Maraghi, yang salah satu pembahasannya ditulis oleh Muhibuddin al-Khatib, Mas’alatu Tarjaamatil Qur’an oleh Mustafa Sabri, An-Naba’ul Azim oleh Dr. Muhammad Abdullah Daraz, dan Mukadimah Tafsir Mahasinut Ta’wil oleh Jalaaludin al-Qasimi.
Syekh Tahir al-Jazairi menyusun sebuah kitab dengan judul At-Tibyaan fii Uluumil Qur’an. Syekh Muhammad Ali Salamah menulis pula Manhaajul Furqaan fii Uluumil Qur’an, yang berisi pembahasan yang sudah ditentukan untuk fakulti usuludin di Mesir dengan spesialisasi dakwah dan bimbingan masyarakat. Kemudian, hal itu juga diikuti oleh muridnya, Muhammad Abdul Azim az-Zarqani yang menyusun Manaahilul ‘Irfaan fi Uluumil Quran. Kemudian, Syekh Ahmad Ali menyusun Muzakkirat Uluumil Qur’an yang disampaikan kepada para mahasiswanya di fakulti usuludin jurusan dakwah dan bimbingan masyarakat. Akhirnya, muncul Mabaahits fii Uluumil Qur’an oleh Dr. Subhi as-Shaleh. Juga Ustaz Ahmad Muhammad Jamal menulis beberapa studi sekitar masalah ma’idah dalam Quran.
Pembahasan-pembahasan tersebut dikenal dengan sebutan uluumul quran, dan kata ini kini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut. Kata ulum jamak dari kata ilmu. Ilmu bererti al-fahmu wal idrak (faham dan menguasai). Kemudian, erti kata ini berubah menjadi masalah-masalah yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah.
Jadi, yang dimaksud dengan ulumul quran ialah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Quran dari segi asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya Quran), pengumpulan dan penertiban Quran, pengetahuan tentang surah-surah Mekah dan Madinah, an-nasikh wal-mansukh, al-muhkam wal-mutasyaabih, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Alquran. Terkadang ilmu ini juga dinamakan usuulut tafsir (dasar-dasar tafsir), kerana yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang mufasir sebagai sandaran dalam menafsirkan Alquran.
Dalam mengkaji makna ayat-ayat Al-Qur’an, kita harus merujuk pada kitab-kitab tafsir yang telah diakui, sehingga kita akan mendapakan pemahaman yang benar dan tidak terjatuh kedalam kesalahan dan penyimpangan pemahaman. Sebaliknya, kita juga tidak boleh jatuh kedalam fobia atau ketakutan yang berlebihan intuk dekat dengan Al-Qur’an dan senantiasa berusaha untuk memahaminya, sehingga tidak berusaha untuk mempelajari kendungannya yang amat luas dan dalam kecuali sekedar membacanya saja.
- Ilmu Tajwid dan Tilawah
- Ilmu Tafsir :
- Sejarah perkembangan ilmu tafsir
- Macam-macam atau jenis-jenis tafsir
- Metodologi/ kaidah-kaidah dan rambu-rambu dalam menafsirkan Al-Qur’an
- Syarat-syarat seorang mufassir
- Para ulama tafsir
- Kitab-kitab tafsir
- Ilmu Sejarah Al-Qur’an
- Ilmu Qiro’at (versi-versi bacaan Al-Qur’an)
- Ilmu Asbabun Nuzul (latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an)
- Ilmu Nasikh dan Mansukh
- Ilmu Muhkam dan Mutasyabih
- Ilmu ‘Am dan Khash
- Ilmu Muthlaq dan Muqayyad
- Ilmu Manthuq dan Mafhum
- Ilmu Makki dan Madani
- Ilmu I’jaz Al-Qur’an (kemukjizatan Al-Qur’an)
- Ilmu Amtsal Al-Qur’an (perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur’an)
- Ilmu Aqsam Al-Qur’an (sumpah-sumpah dalam Al-Qur’an)
- Ilmu Jadal Al-Qur’an (perdebatan-perdebatan dalam Al-Qur’an)
- Ilmu Qashash Al-Qur’an (kisah-kisah dalam Al-Qur’an)
- Ilmu Terjemah Al-Qur’an
ilmu. Banyak nash, baik dari al-Qur'an maupun dari al-hadits yang menjelaskan
tentang fadhailul 'ilm wal 'alim (keutamaan ilmu dan orang yang berilmu). Simak saja
misalnya firman Allah dalam surat al-Mujadalah ayat 11: "Allah akan mengangkat
derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu".
Ibnu Abbas dalam tafsirnya—sehubungan dengan ayat ini—mengatakan bahwa
derajat para ulama jauh di atas derajat orang yang beriman dengan perbandiangan
1:70 yang jarak antara satu derajat dengan derajat lainnya sama dengan perjalanan
yang menghabiskan waktu selama 500 tahun.
Saking besarnya perhatian Islam terhadap ilmu ini, hampir semua sisi
kehidupan mulai sejak lahir sampai pada saat menjelang ajal selalu ditekankan
mengenai ilmu. Perhatikan misalnya, ketika bayi baru lahir, Rasulullah menganjurkan
untuk diperkenalkan ilmu mengenal Allah, Tuhan semesta alam dan Nabi Muhammad
sebagai utusanNya melalui adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kirinya
(terlepas dari khilafiyyah boleh tidaknya hal itu dilakukan). Menginjak dewasa
sampai menjadi orang tua, juga terus dianjurkan untuk melafalkan kalimah thayyibah
melalui doa yang harus dipahami sebagai sebuah proses pembelajaran. Bahkan, doa
sapu jagat yang sering kita ucapkan, juga merupakan permohonan untuk diberikan
ilmu karena kata fiddunya hasanah dalam doa dimaksud ditafsirkan oleh para
mufassir, sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali dalam al-Ihya, dengan ilmu dan
ibadah. Menjelang ajal sekalipun tetap dianjurkan untuk berilmu melaui talqin
kalimah thayyibah, menuntun si sakit untuk tetap mengenal dan menghadirkan Allah
Yang Maha Kuasa. Oleh karena itulah, dalam sebuah hadits dikatakan: "Carilah ilmu
sejak mulai dari buaian sampai menjelang ajal".
Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang berilmu jauh di atas tukang
ibadah yang jahil (bodoh). "Keutamaan orang yang berilmu atas orang yang rajin
beribadah ibarat keutamaan bulan purnama atas semua bintang". Bahkan dalam
hadis lain disebutkan: "Tidurnya orang yang berilmu lebih utama daripada
ibadahnya orang yang bodoh". Kedua hadits ini harus dipahami bahwa seorang alim
(orang yang berilmu) lebih utama dari seorang abid (tukang ibadah) lantaran
bagaimana mungkin seseorang dapat melaksanakan ibadahnya secara benar kalau
tidak tahu ilmunya. Sementara si alim, tidurpun berdasarkan ilmunya.
Setelah kita memperhatikan nash-nash yang menjelaskan keutamaan orang
yang berilmu, kini marilah kita simak salah satu sabda Nabi Saw berikut ini:
"Sesungguhnya manusia yang paling berat siksanya kelak di hari kiamat adalah
orang yang berilmu akan tetapi ilmunya tidak bermanfaat" (HR. Ahmad dan
Baihaki). Demikian juga masih dalam riwayat yang sama, Rasulullah bersabda:
"Kelak penduduk neraka akan berteriak-teriak sambil menutup hidung mereka.
Mereka mengatakan: "Siapa kamu ini, mengapa tubuh kamu sangat bau seperti ini?
Kami sudah sangat pedih dengan siksa ini, kini kamu tambah dengan aroma bau
kamu yang menyengak".
Orang itu lalu berkata: "Dulu waktu di dunia saya ini
adalah orang yang berilmu akan tetapi ilmu saya ini tidak bermanfaat".
Bila hadits-hadits sebelumnya menerangkan keutamaan orang yang berilmu,
maka dalam dua riwayat ini justru sebaliknya; mencela dan menyiksa orang yang
berilmu yang dengan ilmunya tidak mendatangkan manfaat baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain. Kedua riwayat ini juga sekaligus mengisyaratkan bahwa
dalam Islam tujuan mencari ilmu adalah untuk diamalkan bukan sekedar penghias
bibir, pemoles kata dan bukan pula semata untuk mencari harta. Ilmu yang didapat
harus dapat bermanfaat bagi diri sendiri maupun untuk orang lain. Bermanfaat bagi
diri sendiri dimaksudkan mampu membimbing diri ke arah yang lebih baik,
mengubah diri dan laku ke arah yang lebih diridhai-Nya. Bermanfaat bagi orang lain
dapat diartikan mampu memberikan atsar (efek baik) kepada orang-orang dalam
menuju kehidupan yang lebih bernilai di sisi Allah Swt. Dengan bahasa lebih mudah,
orang menuntut ilmu adalah untuk beramal.
Oleh karena itu, dalam kitab Durratun Nashihin disebutkan bahwa ilmu
merupakan kumpulan dari huruf ain, lam dan mim yang masing-masing mempunyai
makna tersendiri. Huruf pertama, ain, merupakan singkatan dari 'illiyyin yang berarti
bahwa orang yang berilmu akan memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah
sebagaimana firmanNya dalam surat al-Mujadalah ayat 11; "Allah akan mengangkat
derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu".
Namun, derajat 'illiyyin dapat diraih setelah dia dapat melaksanakan dua tahap
sebelumnya yaitu, luthf (huruf kedua, lam) dan mulk (huruf ketiga, mim). Sifat luthf
yang dimaksud adalah sifat lembut, tawadhu, tidak sombong dengan ilmu yang
dimilikinya. Dia selalu yakin bahwa ilmu yang didapat bukan untuk disombongkan
tapi untuk diamalkan. Sedangkan makna mulk adalah mampu menguasai diri
(mengendallikan diri). Bila orang tersebut cepat emosi, sering melakukan dosa dan
kesalahan, maka menurut pengarang Durratun Nasihin dia belum cocok disebut 'alim
karena dia belum mampu mengendalilkan diri dan hawa nafsunya. Dan secara
otomatis, derajatnya tidak illiyyin di sisi Allah Swt.
Apa yang disodorkan pengarang Durratun Nasihin ini, sesungguhnya hendak
memperkokoh bahwa ilmu memang harus berwujud dalam laku (amal). Dari sini kita
dapat menarik benang merah bahwa ilmu dan amal adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Ilmu adalah untuk amal dan amal harus berdasarkan ilmu. Hadits yang
mengatakan 'tidurnya orang yang berilmu lebih baik dari pada ibadahnya orang yang
jahil' sebagaimana telah disebutkan di atas, mengisyaratkan bahwa setiap amal
memang harus berdasarkan ilmu. Betapa rajinnya seorang 'abid beribadah, bila ia
melaksanakannya tanpa ilmu, bukan saja tidak akan diterima malah akan mendapat
siksa. Sebaliknya, betapa banyaknya ilmu yang dimiliki seseorang, namun bila tidak
berwujud dalam amal perbuatan, juga hanya akan menabur siksa kelak di hari akhir.
Karena itu, Islam sesungguhnya bermaksud mendorong ummatnya untuk berilmu
amaliyyah (berilmu untuk diamalkan) dan beramal ilmiyyah (beramal berdasarkan ilmu).
Berkaitan dengan masalah ilmu dan amal ini, marilah kita simak penuturan
Imam al-Ghazali dalam buku kecilnya yang berjudul Khulashah at Tashanif fit
Tasawwuf. Buku yang awalnya berbahasa Parsi, dan dialihbahasakan ke dalam
bahasa Arab oleh Muhammad Amin al-Kurdi an-Naqsabandi ini merupakan jawaban
terhadap keluhan salah seorang muridnya. Dalam keluhannya itu, sang murid mengadu bahwa ia telah menghabiskan semua masanya untuk terus mencari berbagai
disiplin ilmu. Namun setelah ilmu itu diraih, ia bingung mana diantara ilmu tersebut
yang dapat memberinya hidayah sekaligus bekal kelak di akhirat. Ia lalu memohon
nasihat, petunjuk dan doa dari gurunya, Imam al-Ghazali. Berikut saya terjemahkan
point-point penting dari jawaban Imam al-Ghaali dimaksud.
"Wahai anakku, sesungguhnya semua nasihat dari para shalihin terdahulu
semuanya sudah tertulis dalam hadits Nabi. Cukup semua itu kamu jadikan pelajaran dan nasihat.
Wahai anakku, dikisahkan bahwa sepeninggal al-Junaid (seorang sufi
besar=pent.), para sahabat dekatnya bermimpi bertemu dengannya. Para sahabatnya
lalu bertanya: "Apa yang telah Allah perbuat kepada kamu?" Al-Junaid menjawab:
"tidak berguna semua isyarat itu, tidak berfaidah semua ungkapan-ungkapan itu,
tidak bermanfaat ilmu-ilmu itu, tidak membantu catatan-catatan itu, akan tetapi yang
membantu dan bermanfaat bagi kami hanyalah shalat yang kami lakukan di tengah malam".
Ketahuilah dengan yakin wahai anakku, ilmu saja tanpa amal tidak akan
menyelamatkan kamu kelak di hari kiamat. Coba kamu bayangkan, bagaimana
menurut kamu, seorang tukang perang yang memiliki 10 pedang dan ratusan anak
panah berikut busurnya, lalu tiba2 dihadang seekor harimau besar, apakah semua
senjatanya dapat menolong dia dengan sendirinya tanpa ia pergunakan? Kamu tentu
secara yakin akan menjawab tidak. Demikian juga halnya jika seseorang mengetahui
100.000 masalah akan tetapi ia tidak mengamalkannya satu pun, maka anda pun tahu,
semua ilmunya itu tidak ada faidah buat dia sedikitpun.
Anakku, setiap hari hatimu selalu diseru—meskipun kamu tidak mendengar—
"ma tashna'u bi ghairi wa anta mahfufun bi khairi", "mengapa kamu tega berbuat
untuk selain-Ku, padahal kamu selalu dikelilingi kebaikan-Ku".
Anakku, ilmu tanpa amal adalah gila, dan amal tanpa ilmu adalah asing.
Karena jika ilmu tidak menjauhkan kamu dari ma'siat, maka kelak ia tidak akan
menjauhkan kamu dari neraka jahannam. Jika hari ini kamu tidak beramal shalih,
maka kelak di hari kiamat kamu akan berkata: "Ya Allah kembalikan kami ke dunia
niscaya kami akan berbuat baik". Lalu akan dikatakan kepadamu: "Apakah kami tidak memberikan umur kepadamu". Anakku, jangan pernah lupa, bawalah ruhmu dalam taat sebelum ruhmu lari
dari jasad (mati). Ketahuilah, dunia hanyalah persinggahanmu sementara sampai
suatu saat kamu pindah ke kubur. Mereka ahli kubur setiap detik menunggumu.
Berhati-hatilah jangan sampai kamu pergi kepadanya tanpa bekal.
Anakku, jika ilmu saja tanpa amal cukup bagimu, apa yang akan kamu
katakan ketika penyeru berkata: "Apakah termasuk orang yang bertaubat, orang yang
meminta ataukah termasuk orang yang memohon ampun?". Dalam hadits Shahih
dikatakan ketika setengah malam sudah berlalu, dan saat orang-orang tidur lelap,
Allah menyeru: " Apakah termasuk orang yang bertaubat, orang yang meminta
ataukah termasuk orang yang memohon ampun?". Karena itu, Rasulullah
menganjurkan ummatnya agar setiap malam shalat, dzikir dan memohon ampun.
Janganlah kamu terlalu banyak tidur pada malam hari karena akan membuat kamu fakir kelak di hari kiamat. Sufyan at-Tsauri pernah berkata: "Jika awal malam tiba, dari bawah arasy
terdengar seruan: "Apakah tukang-tukang ibadah bangun?" Maka berdirilah mereka
dan merekapun melaksanakan shalat. Bila tengah malam tiba, terdengar seruan lagi:
"Apakah hamba-hambaKu yang tunduk telah bangun?" Bangun pula lah mereka dan
kembali melakukan shalat malam sampai waktu sahur tiba. Bila waktu sahur tiba,
terdengar lagi seruan: "Apakah orang-orang yang memohon ampun telah bangun?"
Berdiri pula lah mereka memohon ampun sampai datang waktu fajar. Bila waktu fajar
tiba, terdengar kembali seruan: "Apakah orang-orang lalai telah bangun?" Bangunlah
mereka dari tempat tidur masing-masing seperti ketika dibangunkannya orang yang
telah mati kelak dari kubur.
Anakku, renungkanlah nasihat lukman: "Wahai anakku, janganlah kamu
jadikan ayam-ayam itu lebih geliat dari pada kamu. Ia kongkorongok, berkokok pada
waktu sahur sementara kamu masih tidur.
Anakku, banyak hal yang tidak cukup saya jelaskan dengan ucapan dan tulisan
karena dia sifatnya filling (dzauqi). Semua yang bersifat filling tidak bisa dicapai
dengan lisan dan tulisan tapi harus melalui amal perbuatan, praktek. Ketika kamu
hendak menjelaskan pada seseorang apa itu pahit, manis, maka semua itu tidak cukup
dengan lisan dan tuisan tapi harus langsung melalui amal perbuatan, mencoba.
Anakku, jika orang yang impoten menanyakan bagaimana nikmatnya jima'
(hubungan badan), maka jawaban lisan dan tulisan tidaklah cukup baginya, tapi harus
melalui praktek langsung.
Anakku, al-Syibli (seorang sufi besar=pent.) pernah berkisah bahwa dia telah
berguru kepada 400 syaikh, juga sudah membaca lebih dari 4000 hadits, akan tetapi
dari sekian banyak hadits di atas ia hanya memilih satu hadits saja dan meninggalkan
yang lainnya. Ia melihat hadits tersebutlah yang dapat dijadikan petunjuk untuk
meraih keselamatan kelak di hari akhir. Hadits tersebut adalah:
"Berbuatlah untuk urusan duniamu menurut ukuran berapa lama kamu tinggal di
dalamnya. Berbuatlah untuk akhiratmu menurut ukuran kekekalan kamu tinggal di
dalamnya. . Berbuatlah untuk Allah menurut kebutuahanmu kepadaNya dan
berbuatlah untuk neraka menurut ukuran kesabaranmu di dalamnya."
Anakku, pahamilah hakikat dari ibadah dan tha'ah. Apa itu ibadah? Ibadah
adalah mengikuti petunjuk Syari (Allah dan RasulNya) baik yang menyangkut
perintah maupun larangan. Apabila kamu melakukan suatu perbuatan yang tidak ada
perintahnya dari Syari', maka itu bukan ibadah, meskipun perbuatan tersebut dalam
bentuk dan wujud ibadah. Bahkan, terkadang sesungguhnya perbuatan tersebut
hakikatnya adalah sebuah perbuatan maksiat, meskipun dalam wujud puasa atau
shalat. Bukankah orang yang berpuasa pada hari Tasyriq atau pada hari raya Idul Fitri
dan Adha dipandang sebagai orang yang berdosa? Padahal ia melakukannya dalam
bentuk ibadah. Kenapa demikian? Karena tidak ada perintah dari syari'. Demikian
juga, orang yang shalat pada waktu-waktu yang dimakruhkan atau di tempat-tempat
hasil dari perbuatan ghasab, ia tetap dipandang sebagai pembuat dosa.
Sebaliknya, apabila seorang suami bercanda dengan isterinya, maka ia
berpahala meskipun perbuatan tersebut dalam bentuk canda. Kenapa? Karena
bercanda dengan isteri dan mahram lainnya adalah diperintahkan. Oleh karena itu,
maka hakikat ibadah adalah melaksanakan perintah, bukan semata shalat atau puasa.
Karena shalat dan puasa itu tidak menjadi ibadah apabila tidak diperintahkan.
Anakku, ketahuilah bahwa yang disebut dengan tasawwuf adalah melekatnya
dua komponen penting dalam diri seseorang: jujur kepada Allah (al-shidqu ma'allah)
dan bermuamalah dengan baik terhadap sesama manusia. Setiap orang yang jujur
kepada Allah dan bermuamalah secara baik dengan sesama manusia, maka ia disebut
dengan seorang sufi (ahli tasawuf). Jujur kepada Allah maksudnya adalah merelakan
kepentingan pribadi demi perintah Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan
bermuamalah dengan baik adalah senantiasa mengutamakan kepentingan mereka
(orang lain) dari pada kepentingan diri sendiri, selama kepentingan mereka itu selaras
dengan ketentuan syara.
Anakku, tahukah kamu apa yang dimaksud dengan hakikat dari penyembahan
kepada Allah? Ia adalah upaya untuk selalu menghadirkan Allah dalam segala gerak
gerik hamba tanpa ada pikiran dan rasa apapun dari selainNya. Dan hal ini tidak akan
tercapai kecuali dengan tiga hal: 1) senantiasa bergegas dalam melaksanakan
perintaNya, 2) ridha atas qadha dan qadar juga pembagian dari Allah, dan 3)
menghindari rasa menyesal atas pilihan yang telah diberikan oleh Allah kepadamu
sekalipun pilihan itu bukan pilihanmu.
Anakku, tahukah kamu apa itu tawakkal? Tawakal adalah kamu betul betul
yakin bahwa apa yang sudah menjadi bagian kamu, pasti akan sampai kepadamu
sekalipun semua penghuni dunia ini menghalanginya. Demikian juga, apa yang bukan
bagian kamu, tidak akan pernah sampai kepadamu meskipun seluruh penghuni dunia
ini turut membantumu.
Anakku, tahukah kamu apa itu ikhlas? Ikhlas adalah upaya untuk menjadikan
seluruh perbuatan kamu hanya karena Allah, dalam pengertian, tidak terbesit
sedikitpun dalam hati kamu untuk memperoleh balasan, pujian atau apapun dari
sesama manusia, baik ketika sedang melakukan perbuatan tersebut maupun
setelahnya. Di antara ciri keikhlasan adalah, kamu tidak merasa bahagia dan bangga
dengan pujian dari manusia, juga kamu tidak merasa bersedih hati, kecewa tatkala
mereka mencela dan menghina kamu. Berlakulah biasa dan sama dalam dua keadaan
tersebut.
Anakku, bila suatu saat seorang penguasa hendak berkunjung ke rumahmu,
maka kamu akan memoles dan menata dengan baik semua benda yang diyakini akan
dilihat oleh penguasa tersebut. Bila dengan penguasa saja seperti itu, maka apalagi
dengan Allah. Bukankah dalam sebuah hadits Rasulullah pernah bersabda, bahwa
Allah hanya akan melihat hati dan amalmu dan bukan harta serta kecantikanmu? Bila
tahu itu, maka kamu harus segera memperindah, mempersiapkan sebaik mungkin hati
dan amal kamu sebelum Allah datang "berziarah" kepadamu.
Terakhir, wahai anakku, saya ajarkan kepada kamu sebuah doa yang
sebaiknya kamu baca sesering mungkin terutama setelah shalat. Semoga dengan do'a
ini dapat membantu kamu untuk terus beramal :
"Ya Allah, aku memohon kepadaMu nikmat yang sempurna, perlindungan
yang lama, rahmat yang tidak pernah sirna dan maafMu selamanya. Ya Allah, aku
memohon kepadaMu kehidupan yang paling melimpah, umur yang paling bahagia,
kebaikan yang paling sempurna, nikmat yang paling cukup, karunia yang paling baik,
kelembutan yang paling dekat, amal yang paling shaleh, ilmu yang paling bermanfaat
dan rizki yang paling leluasa. Ya, Allah, jadilah Eukau pelindung kami dan jangan
Eukau menjadi musuh kami. Ya Allah, akhiri umur kami dengan kebahagiaan,
wujudkan perbuatan kami sebagai tambahan kebaikan, temani langkah dan gerak
kami dengan maafMu, jadikan tempat kembali dan tujuan kami hanyalah rahmatMu,
curahkanlah atas dosa-dosa kami pengampunanMu, karuniailah dan gantilah dengan
kebaikan semua cacat-cacat kami. Ya Allah, jadikanlah taqwa sebagai bekal kami,
agama sebagai tempat kesungguhan kami, dan hanya kepadaMu kami bertawakal dan
bergantung. Ya Allah, tetapkan kami dalam istiqamah, lindungi kami dari penyesalan
kelak di hari Kiamat. Ringankan semua dosa dan kesalahan kami yang begitu banyak
dan berat, berikan kepada kami kehidupan orang-orang shaleh. Hindarkan dan
jauhkan Ya Allah, dari semua tipu daya dan usaha orang-orang jahat. Ya Allah,
bebaskan keluarga kami, keluarga bapak dan ibu kami dari siksa api neraka. Bebaskan
kami dari hutang yang melilit dan dari perbuatan orang-orang dhalim, karena
sesungguhnya Eukau Maha Gagah dan Pengampun, Eukau Maha Dermawan dan
Maha Penutup (aib), Eukau Maha Sabar dan Kuasa. Semua itu adalah karena rahmat
(kasih saying)Mu ya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Semoga Allah
senantiasa memberikan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga
dan para sahabatnya semuanya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga
Allah mengabulkan semua doa kami."
Demikian, di antara nasihat Imam Ghazali untuk kita pencari ilmu. Mari kita
coba wujudkan semangat ilmu untuk amal dan amal berdasarkan ilmu, agar kita dapat
meraih kebahagian di dunia dan di akhirat.
Sumber : Studi Ilmu-Ilmu Quran , terjemahan dari Mabaahits fii ‘Uluumil Quraan, Manna’ Khaliil al-Qattaan
Ust. Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
http://soplur.blogspot.com/2011/06/antara-ilmu-dan-amal-al-quran.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar