Syariat Islam ditetapkan Allah SWT sebagai risalah untuk mengatur seluruh umat manusia, sehingga ia akan memberikan kerahmatan bagi semua elemen masyarakat. Seperti yang telah disebutkan dalam QS. Al-Anbiyaa’ 107, Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dengan demikian, Syariat Islam tentu dapat dilaksanakan dalam masyarakat yang heterogen. Sekaligus hal itu membantah adanya anggapan bahwa syariat Islam hanya dapat diterapkan di masyarakat yang seluruhnya Muslim.
Dalam negara Khilafah yang dikenal sebagai negara Muslim di seluruh dunia, yang di dalamnya telah diterapkan syariat secara kaffah, tidak mensyaratkan penduduknya beragama Muslim saja. Seorang Muslim yang tinggal di luar negara Khilafah tidak dianggap sebagai warga negara Khilafah. Tetapi sebaliknya, seorang non-Muslim akan dianggap sebagai warga negara Khilafah jika meraka tinggal di wilayah Islam dan tunduk kepada hukum-hukum Islam (kafir dzimmi). Maka dalam hal ini, keislaman bukanlah syarat mutlak diterimanya seseorang sebagai warga negara Khilafah.
Dalam kaitannya dengan aspek penerapan syariat Islam dalam negara, Islam telah membagi menjadi dua macam: Pertama, hukum Islam yang membutuhkan syarat harus Muslim. Dalam hal ini orang-orang non-Muslim tidak diperbolehkan bahkan dilarang untuk melaksanakannya. Misalnya sholat, puasa, membaca Al-Qur’an, haji, dan sejenisnya. Kedua, hukum Islam yang tidak membutuhkan syarat harus Muslim. Dalam arti orang-orang non-Muslim sebagai warga negara Khilafah diwajibkan taat kepada hukum pemerintahan, ekonomi, sangsi hukum, pendidikan dan sebagainya. Bahkan mereka dibolehkan pula untuk berjihad.
Mereka diberikan kebebasan berakidah dan beribadah sesuai dengan agamanya. Hal ini sesuai dalam QS. Al-Kafirun ayat 6. Bahkan mereka tidak diperbolehkan untuk dipaksakan masuk Islam sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah, 256. Tidak hanya itu, kebebasan itu menyangkut juga aturan yang dianggap sebagai akidah mereka, seperti kebolehan meminum khamr dalam lingkungan khusus mereka, memakan babi, sampai aturan pernikahan dalam ajaran agama mereka. Di samping mereka juga diberikan hak untuk memiliki rumah ibadah.
Begitu juga jaminan keamanan bagi ahli dzimmah, ia sama halnya dengan jaminan keamanan bagi umat Islam. Harta dan darah mereka terjaga sebagaimana darah dan harta umat Muslim. Karena Rasulullah SAW telah bersabda, ”Barangsiapa menyakiti dzimmi, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya pada hari Kiamat.” (HR. as-Suyuthi).
Dalam sejarah peradaban Islam, syariat Islam selalu diberlakukan dalam masyarakat yang heterogen, dan bukan sebaliknya homogen atau seluruh warganya Muslim. Misalnya masyarakat yang berhasil dibentuk di Madinah di awal perkembangan Islam, atau di Irak dan di Mesir pada perkembangan selanjutnya. Atau juga Spanyol yang selama sekitar 800 tahun dikuasai oleh Islam yang kemudian dijuluki Espanol in Three Religions. Di sana, kaum Muslimim mampu hidup bersama dengan warga Yahudi dan Nasrani secarai damai. Sepanjang sejarah kehidupan Islam, tidak tercatat pengusiran apalagi pembantaian warga minoritas non-Muslim oleh mayoritas Muslim dalam negara Khilafah. Yang ada adalah justru sebaliknya, pengusiran warga Muslim oleh mayoritas non-Muslim dimana-mana, seperti halnya yang terjadi di Palestina, Bosnia, Cechnya dan sebagainya.
Realitas ajaran Islam serta fakta sejarah telah membuktikan keindahan budi orang-orang Islam, serta ketangguhan sistem Islam dalam melindungi warga negaranya, termasuk orang-orang non-Muslim. Maka tidak ada alasan lagi bagi seseorang untuk menolak syariat Islam dengan memunculkan kekhawatiran bahwa kaum non-Muslim akan dimarginalkan jika Khilafah telah ditegakkan. [Ahsan Hakim]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar